Pages

Resensi Buku ; Melacak Batu , Menguak Mitos


RESENSI BUKU
PETUALANGAN ANTARBUDAYA DI NIAS
Oleh : Rido Muliadin


Judul Buku : Melacak Batu Menguak Mitos ; Petualangan Antarbudaya di Nias
Penulis : Jajang A. Sonjaya
Penerbit : Impuls dan Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 147 halaman


Pulau Nias,terletak di Provinsi Sumatra Utara, merupakan pulau terpencil yang di dalamnya berkembang salah satu kebudayaan di Nusantara.Leluhur orang Nias berasal dari daerah Yunan, Cina bagian selatan, yang bermigrasi sekitar 3.500 tahun yang lalu ke pulau Nias. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti berupa peralatan-peralatan yang dibuat orang Nias dan gaya arsitektur yang berkembang di sana,berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina) yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah bangsawan, peti mayat, dan sejumlah benda-benda peninggalan zaman megalitikum. Hampir setiap daerah di Nias tersebar batu-batu besar dengan berbagai bentuk, seperti menhir, dolmen, peti kubur, tugu, arca megalitik, tangga rumah, dan tempat duduk. Bagi penduduk Nias, batu telah menjadi penanda bagi identitas seseorang.

Batu-batu tersebut memiliki berbagai makna, seperti makna religi, status sosial, keabadian, pengabdian (terhadap leluhur), dan pengetahuan. Penulisnya membuat beberapa tema, seperti asal-usul manusia, tradisi berburu kepala (mangani binu), tradisi membeli perempuan, berpadunya animisme dengan agama baru, serta pesta-pesta adat. Satu hal yang menurut saya juga menarik dari buku ini adalah sudut pandang yang digunakan penulis dalam membahas kebudayaan Nias.


Menurut kepercayaan orang Nias, pada hakikatnya sejak manusia dilahirkan ke bumi ia harus berjuang untuk mendapat gelar setinggi-tingginya dengan menyelenggarakan beragam ritus secara bertahap.Kewajiban menyelenggarakan ritus bermula dari perkawinan,dikaruniai anak, mereka wajib melaksanakan mamatoro toi nono yaitu menamai bayi.Dan setelah dewasa orangtua juga mengadakan pesta untuk menanamkan harga diri anaknya. Berbicara tentang identitas dan harga diri, orang Nias juga mewarisi sebuah tradisi yang bernama Mangani binu, Mangani binu adalah tradisi berburu kepala manusia untuk keperluan memuliakan harga diri. Dulu sebelum Kristen datang, simbol kejayaan laki-laki Nias ditentukan oleh seberapa banyak kepala manusia yang telah dipenggalnya. Semakin banyak kepalanya, semakin diseganilah dia. Meskipun tradisi Mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Nias, namun pembunuhan dengan memenggal kepala masih kerap terjadi hingga sekarang.Sehingga Anak-anak kecil selalu dilarang bermain pada saat hari menjelang malam agar terhindar dari petaka itu.


Mengapa demi harga diri orang Nias bersedia dan sanggup melakukan sesuatu di luar batas-batas kelaziman? Sayang sekali, buku ini tidak menyediakan cukup jawaban atas pertanyaan ini. Setelah ajaran Kristen mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke-19, ritual-ritual adat yang tidak sesuai dengan iman Kristen mulai ditinggalkan.
Sekarang orang-orang Nias mulai berani membuang patung-patung nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik sehingga makna ritual tersebut bergeser.Contohnya adalah tradisi lompat batu di Nias yang bertujuan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti dengan kemampuan menaklukkan tumpukan batu yang menjulang. Namun pertentngan terhadap agama baru juga muncul. Hal ini disebabkan oleh ketidak setujuan sebagian orang Nias terhadap agama Kristen yang cenderung membenci adat. Gerakan ini disebut sebagai Fa`awosa. Gerakan ini telah melahirkan sekte-sekte yang memadukan berbagai unsur kepercayaan, seperti ajaran Kristen, Islam, dan unsur-unsur budaya yang beragam. Menurut catatan Kantor Urusan Agama Nias, sampai tahun 2006, telah berkembang 58 sekte di Nias. Hal ini menunjukkan bahwa orang Nias belum mengikhlaskan adat yang mereka warisi dari leluhurnya lenyap ditelan kehadiran agama baru.


Kehadiran buku ini menurut saya tepat waktu, karena setelah gempa besar dan tsunami melanda Nias pada 2004, perhatian masyarakat luar tersedot pada fenomena tersebut, sehingga kekayaan tradisi yang berkembang di Nias luput dari perhatian.
Latar belakang penulisnya yang berasal dari budaya Sunda-Jawa tidak menjadi kendala dalam meneliti budaya lain. Ini terbukti dengan kecerdasannya dalam mengisahkan budaya Nias dengan bahasa sehari-hari. Yang jelas, buku ini akan membawa pembaca memasuki liku-liku sejarah kebudayaan Nias dari zaman prasejarah hingga masa kini.